The last Mozaic’s piece
“Cinta itu sederhana, bukan hal
yang seperti kebanyakan fikirkan. Cinta
itu adalah cinta, bukan sesuatu yang bisa di jadikan alasan untuk orang berbuat
keluar dari aturan. Bukan alasan untuk
orang berbuat tak wajar yang kemudian dikaitkan dengan nama cinta yang tak
mengerti apa-apa.”
Jane
Clara K.
Pagi
itu awan mendung menceritakan ketakutan dan tangisan yang tertahan, hanya
beberapa helai daun saja yang berani bergeming menandakan kehadirannya. Tak sengaja dia menjatuhkan tubuhnya yang
penuh beban kemarin dan lusa. Entah
untuk bercerita atau hanya karena dia sudah tak sanggup saja menahan lukanya,
hingga dia tak peduli dengan diamnya dunia, dia hanya peduli dengan keadaan
betapa beratnya kenyataan.
Beberapa
saat dunia semakin hitam, hingga seperti akan berteriak menumpahkan beban
beratnya, terdiam dan rintik pun datang.
Satu, dua, kemudian semakin ramai dan semakin tak tertahankan. Gemuruhnya menemani sang awan menangis hebat,
hingga hampir saja membuyarkan semua penghuni dunia yang masih tertahan untuk
melakukan aktifitasnya. Beberapa
terlihat terdiam dengan wajah penuh pasrah di halte bus dan di tempat berteduh
lainnya, anak-anak sekolah berjalan penuh hati-hati ditengah hujan dengan
warna-warni payungnya, penjaga taman hanya bisa memandangi dari kejauhan
pekerjaannya yang kini bagaikan kebanjiran, semua seakan mengharapkan hujan ini
segera pergi dan awan tersenyum lagi.
Tapi itu tak sama dengan apa yang dirasakan dan diinginkan Jane, ia
bahagia ketika awan itu menangis dengan hebatnya, dia tersenyum ketika butirnya
jatuh di telapak tangannya yang halus.
Dunia bagaikan surga apabila hujan menyambangi tubuhnya dengan alunan
nyanyian yang seakan tak pernah berhenti.
Dia Jane Clara, wanita pendiam yang memiliki pandangan hidup yang
berbeda.
Tepat
jam 8 kurang 10 menit kampus H kedokteran salah satu Universitas di Malang
sudah ramai dengan sekitar 50 mahasiswa putri yang siap dengan segala macam
perlengkapan kuliahnya. Beberapa diskusi
di halaman yang masih lembab sisa uap yang masih berkeliaran, sebagian sibuk
mencari sarapan, sebagian sudah terlihat dilorong yang kiri-kanannya dihiasi tata
tertib dan pengumuman, sebagian lagi
sudah dikelas dengan beberapa lembar kertas presentasi, banyak yang hanya
duduk-duduk saja sambil memegangi tangannya yang kedinginan atau hanya tidur
menunggu dosen yang terlambat dijalan.
Riuh bagaikan dipasar dan salah satu dari 50 mahasiswi itu adalah Jane
Clara, terdiam dibarisan tengah kelas memandangi dua pohon kembar yang ada
dihalaman kampus H. tak ada yang aneh
dari pohon kembar itu, hanya saja ia sedang melakukan absisi hingga tak
menyisakan satupun daun dari rantingnya.
“
Jane, lagi apa? Seneng bener menyendiri.”
May mendekati sambil menyeret kursi agar semakin dekat dengan posisi
duduk Jane yang merapat ke jendela yang juga masih lembab. Beberapa saat Jane hanya menjawabnya dengan
senyum dan membetulkan posisi jaketnya agar semakin rapat dan hangat. Matanya kembali memandangi pohon kembar yang
selama ini selalu membuat Jane penasaran.
“
Jane ada yang titip salam sama kamu.” tambah May sambil tersenyum menggoda,
beberapa anak yang tepat dibelakang mereka tertawa kecil tapi ada juga yang
sampai menggoda Jane dengan suara mengisi ruangan penuh. Lagi Jane hanya tersenyum simpul dengan santai
dan tanpa ekspresi apa-apa. Wajahnya
memandangi keseluruh penghuni kelas yang menggodanya. Tak ada yang dilakukannya selain tersenyum
membalas godaan yang datang dari teman-teman kelasnya yang sudah hampir 4 tahun
ini menemaninya.
“
akhirnya Jane mau pacaran.” Goda temannya Gave yang duduk di sudut kelas
“
Jane bilang gih kamu juga ga punya pacar gitu, kali aja kalian jodoh.” Teriak
yang lainnya sambil tertawa dan saling menggoda. Suasana kelaspun semakin ramai dari biasanya
dan riuh berbeda dari yang seharusnya.
Kejadian yang berhubungan dengan masalah cinta Jane memang selalu jadi
topik hangat dikelas itu, tapi lagi kadang Jane tak peduli karena apa yang
mereka katakan tentang hati Jane hanya mengawang
saja tak pernah ada yang benar. Memang
selama ini Jane termasuk wanita yang anti pacaran bahkan punya teman laki-laki
saja tidak. Teman-temannya yang Budha
bilang, “ kalo Jane jatuh cinta, berarti para dewi cinta sudah turun kedunia
seluruhnya, karena hanya dengan begitu hati Jane akan merasakan indahnya apa
itu cinta.”
“
namanya Ken, anak teknik mesin. Katanya
sering tuh liat kamu.” Lagi goda May
yang seakan makin memanaskan suasana.
Seluruh penghuni kini sudah berteriak-teriak bagaikan sedang menonton
pertandingan bola antara Indonesia-malaysia saja. Riuh tak tertahankan. Ditambah dengan dosen yang lama sekali datang
semakin menambah panas pagi yang dingin ini.
“
apaan sih, aku ga kenal dia ko. Kalian
aja yang suka aneh.” Jelas Jane yang
juga masih di sambut godaan. Sebagian
mendekat sambil cekikikan, sebagian lagi masih berteriak-teriak menggoda dari
kejauhan. Hingga anak-anak yang tidur
juga pada akhirnya terbangun dan ikut menggoda meski dia tak tahu kejadian yang
membuat Jane di goda habis-habisan.
1
jam lewat dan keadaan masih saja sama, digoda atau bahasanya dibuli sama
saja. Tetap seperti itu, teriakannya
masih menggemparkan seisi ruang kampus yang masih saja belum terisi oleh dosen
mata kuliah anatomi. Meskipun sudah
didiamkan masih saja menggelegar.
“
May, bilang salam balik dari aku ‘ Jane Clara Kristian ’, terus bilang juga
kalo mau salam langsung aja bilang aku jangan lewat kamu.” Ucap Jane dengan suara dikeraskan, berharap
seisi kelas diam, tapi ternyata salah.
Suasana malah semakin riuh dan semakin ramai tak terelakkan. Akhirnya tak ada yang bisa dilakukan lagi
selain diam saja dan tak melakukan apa-apa, mungkin itu pilihan yang lebih baik
daripada memberontak tapi tak menemukan titik terang untuk menghentikan godaan
mereka.
Senja
tiba, lembayung seakan ingin bercerita dengan kehangatannya. Seakan dunia ingin berbagi kebahagiaannya,
seakan langitpun bernyanyi dengan indahnya.
Jalan besar Universitas mulai sepi dengan penghuni, mereka sudah berdiam
di tempat yang membuat mereka nyaman.
Ada yang mulai ke mesjid, kantin, gazebo, kontrakan, rumah mereka
masing-masing, ke tongkrongan, atau malah berjalan santai di trotoar. Sementara Jane berjalan menikmati senja,
senja adalah sahabat terbaiknya, tak seorangpun yang dapat mencintai senja
seperti yang dilakukan Jane. Tak ada,
dan mungkin tak akan pernah ada.
“
kamu anak kebidanan kan?” ucap seseorang
dengan wajah penuh kepanikan, tanpa banyak bicara orang itu membawa Jane yang
masih penuh dengan kebingungan. Berusaha
bertanya sambil berteriak melawan riuhnya suara motor yang dipacu dengan
kekuatan penuh. Orang-orang disekitar
bundaran melihat mereka dengan tanda tanya besar yang hampir tak terselesaikan
meski mereka bahas dalam diskusi semalaman.
Beberapa orang terlihat terganggu dengan teriakan Jane, hingga akhirnya
Jane tak ingin berteriak lagi. Hanya
diam sambil berpegangan. Meskipun dalam
hatinya do’a tak pernah selesai dibacakan, semoga dia tidak menjadi korban
penculikan yang akhir-akhir ini sedang marak.
Alasannya hanya satu, karena dia belum menyelesaikan mozaik hidupnya,
dia belum menemukan seluruh serpihan yang akan membentuk lukisan kaca yang saat
ini masih terlihat abstrak dan berantakan.
Motor
itu berhenti pada sebuah rumah yang tertata rapi, Jane yakin ini bukan
kontrakan. Diam-diam perasaan takut itu
muncul, namun sebelum ia berfikir tentang apa yang terjadi padanya, tangannya
sudah ditarik memasuki pintu utama dan dibawa kesebuah kamar di ujung
lorong. Jane mulai berontak namun tak
bisa, berteriak tapi tak ada yang mendengar.
Hingga ia menemukan seorang wanita yang sedang terbaring dengan penuh
kesakitan. Sebelum ia berfikir, orang
yang membawanya tadi menyeretnya agar segera melakukan pertolongan. Tak ada yang terfikir, semuanya dilakukan
dengan tanpa pemikiran panjang. Semua
intruksi yang diberikan hanyalah yang ia dapat semasa kuliah, bukan karena
kemahirannya dalam membantu persalinan.
Hampir 30 menit ketegangan itu terjadi, dan akhirnya dunia seakan
membuka gemboknya kembali dan paru-paru pun memperbolehkan udara mengisi
rongganya segera. Tepat ketika penghuni
baru itu di tangan Jane, seorang lelaki 1/3 abad datang dengan seorang dokter
separuh baya. Mereka terkejut ketika
malaikat kecil ini menangis di pangkuan Jane.
Begitu juga dengan Jane. Semua
serba panik, waktu cepat lewat hingga sekarang Jane terdiam dihalaman dengan
seorang penculik yang hampir membawanya pada penyakit jantung yang membuatnya
sekarat.
“
mau pulang sekarang? Kamu udah diam dan hampir tak berkedik selama 2 jam
ini.” Ucap penculik dengan nada yang
menunjukkan kekhawatiran. Memang cukup
beralasan karena dia memahami rasa tidak percaya Jane tentang kejadian yang
baru saja ia alami. Tangannya gemetaran
dan matanya berkaca hampir meledak.
Perlahan air matanya jatuh dan bibirnya membiru. Penculik ini berusaha meyakinkan Jane bahwa
semua baik-baik saja, semakin keras dan semakin keras dengan suara penuh
kehangatan.
“
kamu sadar? Aku hampir membunuh seseorang gara-gara kamu. Aku hampir kehilangan masa yang menyenangkan
dalam hidup ini gara-gara kamu, kamu hampir membuat aku gagal profesi dan kamu
hampir membuat aku menjadi orang yang paling menyesal di dunia ini. Jika saja itu terjadi, maka kamu yang harus
bertanggungjawab, kamu harus menebus semuanya dan membayar mahal itu
semua.” Teriak Jane dengan marah. Matanya kini telah penuh dengan air mata yang
tak dapat lagi ia bendung meski berusaha.
Tangannya semakin gemetar dan fikirannya kalut tak dapat berfikir
apa-apa. Terbayang olehnya betapa ia
telah membantu seseorang untuk mengalami infeksi partus dan nifas. Karena ia telah membantu tanpa sterilisasi terlebih dahulu, terbayang
juga betapa banyak bakteri pathogen
yang telah ia salurkan kepada wanita tadi, betapa ia telah menjadi infeksius yang sangat berbahaya dan
membahayakan kehidupan wanita itu.
Langkahnya
lunglai dengan suasana jalanan yang masih ramai, jam ditangannya menunjukkan
angka 10.00 malam yang sakral, yang berbeda dengan angka 10 pada malam
lainnya. Langkahnya seperti orang yang
tengah putus asa, gontai bagai orang tak ada harapan, matanya tak henti
menjatuhkan mutiara yang mengandung enzim sebagai imun di mata. Beberapa orang memperhatikan dan kembali pada
aktifitasnya masing-masing, sementara tepat dibelakangnya seorang lelaki yang
Jane panggil dengan nama penculik mengikutinya dengan wajah bersalah. Sesekali ia memanggil nama Jane yang selalu
tak dihiraukan oleh jane. Jane ingin
marah kepada lelaki ini namun tak bisa lagi.
Semua kemarahannya telah disatukan dalam air mata. Mulutnya seakan tak lagi dapat bersuara,
hanya sesekali senggukan yang terdengar samar.
Pagi
datang lagi dan hari ini berbeda dari hari kemarin atau lusa. Hari ini Jane sudah mulai melupakan kejadian
penculikan yang menimpanya. Namun sejak
saat itu pula ia terus-menerus menjadi incaran sang penculik yang selalu
menunggunya di depan kampus ketika senja tiba.
Hari ini Jane tahu penculik ini adalah Ken, orang yang sempat menjadi
topik hangat dikelasnya. Nama itu ia
dapat dari May, teman yang pernah menggodanya gara-gara kejadian salam yang
entah tujuannya untuk apa. Sejak
kejadian penculikan itu, Jane tak pernah sekalipun menunjukkan wajah dihadapan
Ken. Masih ada sedikit marah, kesal
sekaligus haru yang entah bagaimana menyatu di otaknya.
“
Jane kapan kenalan sama Ken? Katanya ga kenal tapi udah deket aja nih.” Goda May yang lagi-lagi selalu menjadi biang
kericuhan. Jane hanya terdiam tak
menanggapi. Dalam hatinya perasaan
kesalpun datang tentang kejadian kenapa dia bisa kenal ken. Namun entah bagaimana caranya rasa marah yang
selama ini melingkupinya perlahan hilang dan terdapat perasaan senang ketika ia
membayangkan untuk pertama kalinya menggenggam malaikat kecil yang mungil itu
ditangannya.
“
kamu nunggu aku?” ucap Jane dengan dingin dan tanpa menoleh sama sekali.
“
akhirnya aku ketemu kamu, dua minggu ini kamu tiba-tiba menjadi mahluk langka
di kampus.” Ucapnya sambil
tersenyum. Matanya membulat dan wajahnya
sumringah ketika ia melihat Jane
meski hanya dengan sapaan yang tidak seperti Jane biasanya. Sementara Jane tidak menunjukkan ekspresi
apa-apa, hanya datar dan diam.
“
aku minta maaf untuk kejadian dua minggu yang lalu, aku mendapat kabar darinya
ketika dikampus, aku ga tau harus minta tolong siapa, yang ada kamu yaudah aku
culik kamu.” Kata-katanya tertahan “ dia
sudah aku anggap orang tua disini, katanya pengen kenal kamu.” Matanya memandang dengan saksama kepada Jane
yang disambut tak percaya oleh Jane. Ia
berfikir bagaimana mungkin bertemu dengan orang yang hampir ia matikan,
bagaimana bisa ia bertemu dengan orang yang hampir ia bahayakan nyawanya.
“
dia hanya ingin bilang makasih ko, bukan mau marahin kamu gara-gara waktu
nolong partusnya kamu ga sterilisasi dulu.” Ucapnya setengah berbisik, dan diakhiri
dengan senyumnya yang hampir meledak.
“
gimana kamu tahu aku takut karena ga sterilisasi?” bentak Jane tepat sambil membalikan wajahnya
mendekat. Matanya berusaha menyelidiki
wajah Ken dengan saksama dengan harapan ia menemukan titik terang mengapa anak
teknik ini tahu tentang perasaan yang harusnya hanya difahami oleh anak
kesehatan saja. Matanya menyipit mencari
hal terkecil dari Ken yang membuatnya tahu tentang ketakutannya.
“
aku cari tahu bu bidan,,, dari internet alasan kenapa kamu bisa setakut
itu.” Penjelasannya menggangtung tapi
setidaknya Jane tahu bahwa orang ini bukan bisa membaca fikiran tapi bisa
memprediksi dibantu internet.
Siang
itu datang dengan teriknya, dan kuliah sudah selesai dengan santainya sejak jam
10 pagi tadi. Seperti hari yang lainnya,
jika hari senggang maka tempat yang dituju Jane adalah rumah ibu Desyana, orang
tua dari Davni Clara N. malaikat kecil
yang lahir dengan bantuan tangannya. Ia
menjadi dekat dengan keluarga Davni terutama dengan ibu Desyana. Akhir-akhir ini ia juga menjadi dekat dengan
Ken seiring kedekatannya dengan Davni yang juga sangat Ken sayangi. Jane tahu, tak ada yang kebetulan didunia
ini, semua telah ada yang mengatur dan aturan-Nya lebih indah dari apapun yang
telah manusia rencanakan. Siang ini ia
hanya pergi sendirian tanpa Ken, tidak seperti hari yang lainnya. Alasannya Ken harus ikut acara galungan yang
tepat jatuh pada hari ini. Sengaja Jane
tak menunggu Ken karena acara galungan itu biasanya dilakukan dari mulai pagi
sampai sore, lagipula jarak antara kampus dengan rumah ibu Desyana hanya
beberapa meter, bahkan tak sampai 10 menit jika berjalan santai.
Malam
itu tepat malam minggu, malam yang biasanya dihabiskan Jane di tempat makan
bersama Ken. Malam yang biasanya hanya
akan dihabiskan berdua saja tanpa ada yang lain, tak ada May, tak ada
teman-teman sekelas yang lain, tak ada teman Ken, tak ada bu Desyana, bahkan
tak ada Davni kecuali tukang sate dan mereka yang makan juga di warung sate milik
pa Gofur ini. Memang sudah beberapa
bulan ini kedekatan Jane dan Ken sudah tak seperti teman pada umumnya, mereka
memiliki kedekatan yang berbeda meski tak pernah ada kata pacaran atau istilah
ikatan lainnya. Bahkan beberapa kali
Jane menemani Ken ke pertandingan basket hanya untuk memberikan dukungan saja,
hal yang tak pernah sama sekali Jane lakukan sebelumnya. hanya membawakan minuman untuk Ken dan memang
hanya minuman dari Jane saja yang ken gunakan selama pertandingan. Menemani Ken makan, menunggu jemputan Ken
padahal jarak antara kampus dengan kontrakan hanya beberapa meter. Begitu juga dengan Ken, dia hanya akan
membonceng wanita jika wanita itu adalah Jane, hanya akan menurut apabila yang
berkata adalah Jane, dan Jane adalah satu-satunya wanita yang mendapatkan
perhatian dari Ken selama ia menjadi mahasiswa.
“
kamu tahu, selama ini aku selalu menuliskan semua mimpi-mimpi yang ingin aku
raih dalam hidup ini, aku menuliskannya dan memajangnya, semua tentang masa
depanku, tapi untuk yang pertama kalinya aku menuliskan nama seorang wanita
selain ibuku disana, di harapanku yang ke 100.”
Kata-katanya terdengar berbisik tapi jelas terdengar. Jane menatap mata Ken dengan dalam. Berharap Ken melanjutkan kata-katanya.
“ kamu tahu Jane? Nama wanita itu siapa?” sejenak ia menghela napas kemudian melanjutkan “ dia adalah Jane Clara Kristian, aku mencintainya dan sangat mencintainya.” Matanya mengalihkan pada objek yang lain di depannya, menghindari tatapan Jane yang seakan penuh dengan pertanyaan.
“
cinta itu sederhana Ken, sesederhana kita membalikan telapak tangan. Cinta itu tak perlu dibawa sulit, jika Tuhan
menginginkan untuk menyatukan, siapa yang bisa menolaknya?” kata-kata Jane membuat Ken diam dalam hening
yang panjang. Ken tahu jika Jane tak
akan memberikan suatu jawaban yang mutlak.
Tapi dia percaya dengan kata-kata Jane bahwa cinta itu sederhana.
“
lantas jika Tuhan ingin menyatukan kita, apa permintaan pertama yang akan kamu
berikan padaku?” Lagi ken menatap Jane
dengan penuh harap dan pertanyaan besar.
“
aku hanya ingin kamu mengimamiku shalat, mengajari aku mengaji dan menggauliku
secara islam.” Kata-katanya terhenti
“
tapi Jane, . . .” kata-katanya menggantung yang dipotong segera oleh Jane
dengan halus
“
ken, didunia ini terlalu banyak hal yang abstrak dan tak mudah kita selami. Contoh sederhana nya adalah namaku, siapa
yang menyangka aku muslim jika di ujung namaku terdapat nama kristian. Bukankah nama itu tak cocok untukku
seharusnya?, tapi aku tetap memakainya.
Sama dengan ucapanku barusan, meskipun itu mungkin tak cocok untukmu,
tapi aku tetap mengatakannya.”
Minggu
berlalu berganti bulan yang semakin gersang, kamarau panjang dan tak ada
gerimis setetespun yang datang, daun berguguran seakan mengikuti kekakuan hati
yang meradang. Beberapa minggu ini
memang Ken tak sama sekali melihat Jane atau sebaliknya. Jane mulai sibuk dengan program profesinya
sedangkan Ken sudah sibuk dengan seleksi S2nya.
Entah bagaimana caranya hingga komunikasi antara keduanya semakin hari
semakin renggang dan hubungan yang menggantungpun semakin hari semakin tak
menentu arahnya. Beberapa kali Ken
mencoba menghubungi dan mencari Jane ke rumah sakit tempat Jane mengambil
profesi, tapi hasilnya nihil. Ditambah
nomor Jane yang tak bisa dihubungi, semakin memperburuk keadaan.
Hari
telah berganti dan musim telah terulang lagi beberapa kali. Senja itu datang dengan gontai, sesekali Jane
memejamkan matanya hanya untuk merasakan betapa indahnya dunia ini disaat
senja. Terlintas dibenaknya tentang masa
lalu dengan Ken yang tak pernah terulang lagi saat ini dengan siapapun juga sekalipun
itu dengan Boska, laki-laki yang sudah beberapa bulan ini selalu memposisikan
diri menjadi orang terdekat dengannya.
Entahlah, sepertinya memang tak ada yang kurang dari Boska. Ia seorang dokter spesialis mata yang
memiliki penampilan menawan. Namun
entahlah, sepertinya sosok Ken belum bisa digantikan dalam hati Jane. Ditatapnya urutan harapan yang berjejer di
kertas dengan tinta warna-warni yang sudah selesai penuh dengan bulatan kecuali
satu nomor yang masih kosong tanpa sentuhan.
Matanya memandang dan terhenti pada nomor itu, sebuah catatan yang
berisi kata-kata lama pada harapan ke 186.
“ aku tak akan pernah bisa mewujudkannya.” Ucapnya berbisik dan mungkin hanya dapat
didengar olehnya sendiri. Matanya
terpejam lagi, sejenak meneteskan air mata.
“ cinta itu sederhana” kemudian hening dan hanya terdengar angin yang
sesekali menyapanya “ tak ada lagi yang bisa kutuliskan di kertas harapan
kuliahku, semua sudah berakhir dan tugasku telah lama diselesaikan. Harusnya aku tak pernah menulis harapan pada
nomor 186, karena aku tahu harapan itu tak mungkin ku realisasikan.” Lanjutnya masih berbisik. Beberapa saat kembali hening dan dunia seakan
ikut membisu.
“
Jane, Ken mencarimu . . .” ucap
seseorang tepat dibelakangnya. Matanya
membulat namun ia belum ingin membalik badan menatap pemilik suara itu. Beberapa saat ia terdiam, berharap suara itu
memanggilnya lagi, berharap ia sedang tidak bermimpi. Terlintas dibenaknya betapa ia tidak
seharusnya menemui Ken. Ia tak mungkin
bisa menatap Ken untuk saat ini, mungkin dengan bertemu Ken cinta tak akan
sederhana lagi.
“
katakan pada Ken, aku tidak ada.”
Ucapnya berbisik penuh putus asa.
Kembali ia merebah dan menutup mata.
“
Ken mengatakan ada yang penting, ia ingin menyampaikan salam secara langsung
padamu, mengimami mu shalat, mengajarimu mengaji dan menggaulimu secara
islam.” Kata-katanya berhenti yang
kemudian diikuti dengan tatapan Jane kepada pemilik suara itu. Seketika Jane bangkit dan mendekati pemilik
suara itu. Matanya memerah namun air
matanya masih terbendung hampir meleleh.
“
apa maksudnya Ken?” ucap Jane lemah
“
aku hanya melakukan semua yang kamu harapkan.
Aku selalu percaya dengan apa yang kamu katakan, aku percaya bahwa cinta
itu sederhana. Aku yakin bahwa selama
ini kamu menginginkan aku menjadi seorang muslim. Kamu menggunakan nama Kristian karena kamu
percaya disana ada do’a, dan kamu mengatakan padaku hal yang sama bertolak
belakangnya dengan namamu karena pasti ada maksudnya disana. Aku percaya kamu menyayangi aku meskipun tak
seperti aku mencintaimu.” Kata-katanya
terhenti sejenak “ hari ini aku datang untuk memintamu mempertanggungjawabkan
semua yang telah kamu katakan padaku.”
Sambungnya dengan ekpresi yang tak pernah Ken tunjukkan kepada siapapun
termasuk kepada Jane sebelumnya.
“
apa yang harus aku lakukan untuk mempertanggungjawabkan semuanya?” ucap Jane hampir berbisik
“
Kamu harus mau aku imami shalat, aku ajari mengaji dan aku gauli secara
islam.” Ucapnya penuh perhatian
“
tapi . . .” beberapa saat Jane terhenti “ aku tak bisa sekarang Ken”
“
kenapa? Kamu belum yakin? Aku sudah bisa shalat, aku bisa mengaji, aku juga mengerti
tentang islam. Hal yang tak pernah ada
dalam semua harapan yang kutulis adalah mempelajari dan masuk agama islam, tapi
justru hal itu yang aku lakukan selama 5 tahun ini. Aku pernah berfikir bahwa harapan yang
mengandung namamu tak akan pernah mendapatkan coretan. Tapi setelah kamu mengatakan bahwa cinta
sederhana, aku yakin aku akan bisa mencoretnya.
Aku mencintaimu Jane, aku sangat mencintaimu.” Matanya menatap Jane dalam, berusaha
meyakinkan bahwa ia sangat mencintai Jane.
“
aku tak bisa sekarang Ken “ ucapannya tersentak “ kamu harus memilikiku
terlebih dahulu, baru aku bisa mempertanggungjawabkan semua yang pernah aku katakan
pada mu Ken.” Lanjutnya dengan mata
berbinar yang kemudian disambut senyum yang hampir meledak dari Ken.
“
aku setuju, aku akan memilikimu malam ini juga.” Ucapnya mantap. Langit
menatap Jane dan Ken tersenyum simpul, menyimpan kenangan hari ini dengan penuh
diam, berharap suatu hari dapat diceritakan kepada seseorang dengan riangnya. “
Ken, saat ini aku harusnya sudah mencoret harapanku yang ke 186.” Ucap Jane lembut sambil menatap Ken dalam.
“
apa isinya dan kenapa harus disimpan pada nomor 186?”
“
angka itu maksunya tanggal 18 bulan 6, tepat dihari kamu mengatakan cinta
padaku. Isinya adalah aku memilikimu,
diimami shalat, diajari mengaji, dan digauli secara islam olehmu.” Matanya membulat hampir bersentuhan dengan
mata Ken. Sementara Ken tersenyum dengan
hangatnya. Ia berfikir betapa iapun
memiliki harapan yang sama pada harapannya yang ke 100, dan hari ini harusnya
ia juga telah mencoretnya.
“ Jane, harapan itu
telah aku wujudkan bukan di catatan kuliah lagi tapi di catatan kehidupan
nyata. Jane, kamu adalah the last
mozaic’s piece dalam hidupku, hari ini dan selamanya kamu akan menjadi milikku.” Ucap Ken lembut tepat berbisik di hadapan
Jane. “ Aku percaya cinta itu sederhana,
dan kamu adalah adalah the last mosaic’s piece untukku.”
“ cinta itu sederhana, tidak ada yang sulit dari kata
cinta. Kita hanya perlu menunggu waktu
saja tak ada yang lain.”
Ken
Dwika dan Jane Clara Kristian