Selasa, 06 Mei 2014

Cerpen

The last Mozaic’s piece
“Cinta itu sederhana, bukan hal yang seperti kebanyakan fikirkan.  Cinta itu adalah cinta, bukan sesuatu yang bisa di jadikan alasan untuk orang berbuat keluar dari aturan.  Bukan alasan untuk orang berbuat tak wajar yang kemudian dikaitkan dengan nama cinta yang tak mengerti apa-apa.”
Jane Clara K.

            Pagi itu awan mendung menceritakan ketakutan dan tangisan yang tertahan, hanya beberapa helai daun saja yang berani bergeming menandakan kehadirannya.  Tak sengaja dia menjatuhkan tubuhnya yang penuh beban kemarin dan lusa.  Entah untuk bercerita atau hanya karena dia sudah tak sanggup saja menahan lukanya, hingga dia tak peduli dengan diamnya dunia, dia hanya peduli dengan keadaan betapa beratnya kenyataan.
            Beberapa saat dunia semakin hitam, hingga seperti akan berteriak menumpahkan beban beratnya, terdiam dan rintik pun datang.  Satu, dua, kemudian semakin ramai dan semakin tak tertahankan.  Gemuruhnya menemani sang awan menangis hebat, hingga hampir saja membuyarkan semua penghuni dunia yang masih tertahan untuk melakukan aktifitasnya.  Beberapa terlihat terdiam dengan wajah penuh pasrah di halte bus dan di tempat berteduh lainnya, anak-anak sekolah berjalan penuh hati-hati ditengah hujan dengan warna-warni payungnya, penjaga taman hanya bisa memandangi dari kejauhan pekerjaannya yang kini bagaikan kebanjiran, semua seakan mengharapkan hujan ini segera pergi dan awan tersenyum lagi.  Tapi itu tak sama dengan apa yang dirasakan dan diinginkan Jane, ia bahagia ketika awan itu menangis dengan hebatnya, dia tersenyum ketika butirnya jatuh di telapak tangannya yang halus.  Dunia bagaikan surga apabila hujan menyambangi tubuhnya dengan alunan nyanyian yang seakan tak pernah berhenti.  Dia Jane Clara, wanita pendiam yang memiliki pandangan hidup yang berbeda.
            Tepat jam 8 kurang 10 menit kampus H kedokteran salah satu Universitas di Malang sudah ramai dengan sekitar 50 mahasiswa putri yang siap dengan segala macam perlengkapan kuliahnya.  Beberapa diskusi di halaman yang masih lembab sisa uap yang masih berkeliaran, sebagian sibuk mencari sarapan, sebagian sudah terlihat dilorong yang kiri-kanannya dihiasi tata tertib dan  pengumuman, sebagian lagi sudah dikelas dengan beberapa lembar kertas presentasi, banyak yang hanya duduk-duduk saja sambil memegangi tangannya yang kedinginan atau hanya tidur menunggu dosen yang terlambat dijalan.  Riuh bagaikan dipasar dan salah satu dari 50 mahasiswi itu adalah Jane Clara, terdiam dibarisan tengah kelas memandangi dua pohon kembar yang ada dihalaman kampus H.  tak ada yang aneh dari pohon kembar itu, hanya saja ia sedang melakukan absisi hingga tak menyisakan satupun daun dari rantingnya.
            “ Jane, lagi apa? Seneng bener menyendiri.”  May mendekati sambil menyeret kursi agar semakin dekat dengan posisi duduk Jane yang merapat ke jendela yang juga masih lembab.  Beberapa saat Jane hanya menjawabnya dengan senyum dan membetulkan posisi jaketnya agar semakin rapat dan hangat.  Matanya kembali memandangi pohon kembar yang selama ini selalu membuat Jane penasaran.
            “ Jane ada yang titip salam sama kamu.” tambah May sambil tersenyum menggoda, beberapa anak yang tepat dibelakang mereka tertawa kecil tapi ada juga yang sampai menggoda Jane dengan suara mengisi ruangan penuh.  Lagi Jane hanya tersenyum simpul dengan santai dan tanpa ekspresi apa-apa.  Wajahnya memandangi keseluruh penghuni kelas yang menggodanya.  Tak ada yang dilakukannya selain tersenyum membalas godaan yang datang dari teman-teman kelasnya yang sudah hampir 4 tahun ini menemaninya.
            “ akhirnya Jane mau pacaran.” Goda temannya Gave yang duduk di sudut kelas
            “ bilang aja Jane, salam balik gitu.” Goda yang lainnya
            “ Jane bilang gih kamu juga ga punya pacar gitu, kali aja kalian jodoh.” Teriak yang lainnya sambil tertawa dan saling menggoda.  Suasana kelaspun semakin ramai dari biasanya dan riuh berbeda dari yang seharusnya.  Kejadian yang berhubungan dengan masalah cinta Jane memang selalu jadi topik hangat dikelas itu, tapi lagi kadang Jane tak peduli karena apa yang mereka katakan tentang hati Jane hanya mengawang saja tak pernah ada yang benar.  Memang selama ini Jane termasuk wanita yang anti pacaran bahkan punya teman laki-laki saja tidak.  Teman-temannya yang Budha bilang, “ kalo Jane jatuh cinta, berarti para dewi cinta sudah turun kedunia seluruhnya, karena hanya dengan begitu hati Jane akan merasakan indahnya apa itu cinta.”
            “ namanya Ken, anak teknik mesin.  Katanya sering tuh liat kamu.”  Lagi goda May yang seakan makin memanaskan suasana.  Seluruh penghuni kini sudah berteriak-teriak bagaikan sedang menonton pertandingan bola antara Indonesia-malaysia saja.  Riuh tak tertahankan.  Ditambah dengan dosen yang lama sekali datang semakin menambah panas pagi yang dingin ini.
            “ apaan sih, aku ga kenal dia ko.  Kalian aja yang suka aneh.”  Jelas Jane yang juga masih di sambut godaan.  Sebagian mendekat sambil cekikikan, sebagian lagi masih berteriak-teriak menggoda dari kejauhan.  Hingga anak-anak yang tidur juga pada akhirnya terbangun dan ikut menggoda meski dia tak tahu kejadian yang membuat Jane di goda habis-habisan.
            1 jam lewat dan keadaan masih saja sama, digoda atau bahasanya dibuli sama saja.  Tetap seperti itu, teriakannya masih menggemparkan seisi ruang kampus yang masih saja belum terisi oleh dosen mata kuliah anatomi.  Meskipun sudah didiamkan masih saja menggelegar.
            “ May, bilang salam balik dari aku ‘ Jane Clara Kristian ’, terus bilang juga kalo mau salam langsung aja bilang aku jangan lewat kamu.”  Ucap Jane dengan suara dikeraskan, berharap seisi kelas diam, tapi ternyata salah.  Suasana malah semakin riuh dan semakin ramai tak terelakkan.   Akhirnya tak ada yang bisa dilakukan lagi selain diam saja dan tak melakukan apa-apa, mungkin itu pilihan yang lebih baik daripada memberontak tapi tak menemukan titik terang untuk menghentikan godaan mereka.

            Sementara mentari semakin tinggi di puncaknya, perlahan beradu dengan dingin sang awan yang sejak tadi murung tak mampu tersenyum riang meski hanya sekilas saja.  Beralih memandang ke langit biru yang tenang, simponi waktu bagaikan diputar ulang dan malaikat-malaikat kecil bagai terus turun dengan do’a yang tak henti di ucapkan.  Jane terdiam dengan penjelasan mengenai prosedur partus secara normal.  Ia mulai membayangkan bagaimana bisa seorang ibu bisa begitu kuat, padahal selama hidup wanita itu dianggap mahluk lemah.  Bayangannya tersentak pada kenyataan bahwa melahirkan itu sama saja dengan mempertaruhkan nyawa.  Begitu hebatnya ibu-ibu di dunia ini, mereka yang melahirkan para penerus bangsa yang hebat.  Tanpa ibu peradaban itu tak akan pernah ada, dan tanpa kasih sayangnya manusia tak akan pernah tahu siapa dia sebenarnya.
            Senja tiba, lembayung seakan ingin bercerita dengan kehangatannya.  Seakan dunia ingin berbagi kebahagiaannya, seakan langitpun bernyanyi dengan indahnya.  Jalan besar Universitas mulai sepi dengan penghuni, mereka sudah berdiam di tempat yang membuat mereka nyaman.  Ada yang mulai ke mesjid, kantin, gazebo, kontrakan, rumah mereka masing-masing, ke tongkrongan, atau malah berjalan santai di trotoar.  Sementara Jane berjalan menikmati senja, senja adalah sahabat terbaiknya, tak seorangpun yang dapat mencintai senja seperti yang dilakukan Jane.  Tak ada, dan mungkin tak akan pernah ada.
            “ kamu anak kebidanan kan?”  ucap seseorang dengan wajah penuh kepanikan, tanpa banyak bicara orang itu membawa Jane yang masih penuh dengan kebingungan.  Berusaha bertanya sambil berteriak melawan riuhnya suara motor yang dipacu dengan kekuatan penuh.  Orang-orang disekitar bundaran melihat mereka dengan tanda tanya besar yang hampir tak terselesaikan meski mereka bahas dalam diskusi semalaman.  Beberapa orang terlihat terganggu dengan teriakan Jane, hingga akhirnya Jane tak ingin berteriak lagi.  Hanya diam sambil berpegangan.  Meskipun dalam hatinya do’a tak pernah selesai dibacakan, semoga dia tidak menjadi korban penculikan yang akhir-akhir ini sedang marak.  Alasannya hanya satu, karena dia belum menyelesaikan mozaik hidupnya, dia belum menemukan seluruh serpihan yang akan membentuk lukisan kaca yang saat ini masih terlihat abstrak dan berantakan.
            Motor itu berhenti pada sebuah rumah yang tertata rapi, Jane yakin ini bukan kontrakan.  Diam-diam perasaan takut itu muncul, namun sebelum ia berfikir tentang apa yang terjadi padanya, tangannya sudah ditarik memasuki pintu utama dan dibawa kesebuah kamar di ujung lorong.  Jane mulai berontak namun tak bisa, berteriak tapi tak ada yang mendengar.  Hingga ia menemukan seorang wanita yang sedang terbaring dengan penuh kesakitan.  Sebelum ia berfikir, orang yang membawanya tadi menyeretnya agar segera melakukan pertolongan.  Tak ada yang terfikir, semuanya dilakukan dengan tanpa pemikiran panjang.  Semua intruksi yang diberikan hanyalah yang ia dapat semasa kuliah, bukan karena kemahirannya dalam membantu persalinan.  Hampir 30 menit ketegangan itu terjadi, dan akhirnya dunia seakan membuka gemboknya kembali dan paru-paru pun memperbolehkan udara mengisi rongganya segera.  Tepat ketika penghuni baru itu di tangan Jane, seorang lelaki 1/3 abad datang dengan seorang dokter separuh baya.  Mereka terkejut ketika malaikat kecil ini menangis di pangkuan Jane.  Begitu juga dengan Jane.  Semua serba panik, waktu cepat lewat hingga sekarang Jane terdiam dihalaman dengan seorang penculik yang hampir membawanya pada penyakit jantung yang membuatnya sekarat.
            “ mau pulang sekarang? Kamu udah diam dan hampir tak berkedik selama 2 jam ini.”  Ucap penculik dengan nada yang menunjukkan kekhawatiran.  Memang cukup beralasan karena dia memahami rasa tidak percaya Jane tentang kejadian yang baru saja ia alami.  Tangannya gemetaran dan matanya berkaca hampir meledak.  Perlahan air matanya jatuh dan bibirnya membiru.  Penculik ini berusaha meyakinkan Jane bahwa semua baik-baik saja, semakin keras dan semakin keras dengan suara penuh kehangatan.
            “ kamu sadar? Aku hampir membunuh seseorang gara-gara kamu.  Aku hampir kehilangan masa yang menyenangkan dalam hidup ini gara-gara kamu, kamu hampir membuat aku gagal profesi dan kamu hampir membuat aku menjadi orang yang paling menyesal di dunia ini.  Jika saja itu terjadi, maka kamu yang harus bertanggungjawab, kamu harus menebus semuanya dan membayar mahal itu semua.”  Teriak Jane dengan marah.  Matanya kini telah penuh dengan air mata yang tak dapat lagi ia bendung meski berusaha.  Tangannya semakin gemetar dan fikirannya kalut tak dapat berfikir apa-apa.  Terbayang olehnya betapa ia telah membantu seseorang untuk mengalami infeksi partus dan nifas.  Karena ia telah membantu tanpa sterilisasi terlebih dahulu, terbayang juga betapa banyak bakteri pathogen yang telah ia salurkan kepada wanita tadi, betapa ia telah menjadi infeksius yang sangat berbahaya dan membahayakan kehidupan wanita itu.
            Langkahnya lunglai dengan suasana jalanan yang masih ramai, jam ditangannya menunjukkan angka 10.00 malam yang sakral, yang berbeda dengan angka 10 pada malam lainnya.  Langkahnya seperti orang yang tengah putus asa, gontai bagai orang tak ada harapan, matanya tak henti menjatuhkan mutiara yang mengandung enzim sebagai imun di mata.  Beberapa orang memperhatikan dan kembali pada aktifitasnya masing-masing, sementara tepat dibelakangnya seorang lelaki yang Jane panggil dengan nama penculik mengikutinya dengan wajah bersalah.  Sesekali ia memanggil nama Jane yang selalu tak dihiraukan oleh jane.  Jane ingin marah kepada lelaki ini namun tak bisa lagi.  Semua kemarahannya telah disatukan dalam air mata.  Mulutnya seakan tak lagi dapat bersuara, hanya sesekali senggukan yang terdengar samar.
            Pagi datang lagi dan hari ini berbeda dari hari kemarin atau lusa.  Hari ini Jane sudah mulai melupakan kejadian penculikan yang menimpanya.  Namun sejak saat itu pula ia terus-menerus menjadi incaran sang penculik yang selalu menunggunya di depan kampus ketika senja tiba.  Hari ini Jane tahu penculik ini adalah Ken, orang yang sempat menjadi topik hangat dikelasnya.  Nama itu ia dapat dari May, teman yang pernah menggodanya gara-gara kejadian salam yang entah tujuannya untuk apa.  Sejak kejadian penculikan itu, Jane tak pernah sekalipun menunjukkan wajah dihadapan Ken.  Masih ada sedikit marah, kesal sekaligus haru yang entah bagaimana menyatu di otaknya.
            “ Jane kapan kenalan sama Ken? Katanya ga kenal tapi udah deket aja nih.”  Goda May yang lagi-lagi selalu menjadi biang kericuhan.  Jane hanya terdiam tak menanggapi.  Dalam hatinya perasaan kesalpun datang tentang kejadian kenapa dia bisa kenal ken.  Namun entah bagaimana caranya rasa marah yang selama ini melingkupinya perlahan hilang dan terdapat perasaan senang ketika ia membayangkan untuk pertama kalinya menggenggam malaikat kecil yang mungil itu ditangannya.
            “ kamu nunggu aku?” ucap Jane dengan dingin dan tanpa menoleh sama sekali.
            “ akhirnya aku ketemu kamu, dua minggu ini kamu tiba-tiba menjadi mahluk langka di kampus.”  Ucapnya sambil tersenyum.  Matanya membulat dan wajahnya sumringah ketika ia melihat Jane meski hanya dengan sapaan yang tidak seperti Jane biasanya.  Sementara Jane tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, hanya datar dan diam.
            “ aku minta maaf untuk kejadian dua minggu yang lalu, aku mendapat kabar darinya ketika dikampus, aku ga tau harus minta tolong siapa, yang ada kamu yaudah aku culik kamu.”  Kata-katanya tertahan “ dia sudah aku anggap orang tua disini, katanya pengen kenal kamu.”  Matanya memandang dengan saksama kepada Jane yang disambut tak percaya oleh Jane.  Ia berfikir bagaimana mungkin bertemu dengan orang yang hampir ia matikan, bagaimana bisa ia bertemu dengan orang yang hampir ia bahayakan nyawanya.
            “ dia hanya ingin bilang makasih ko, bukan mau marahin kamu gara-gara waktu nolong partusnya kamu ga sterilisasi dulu.”  Ucapnya setengah berbisik, dan diakhiri dengan senyumnya yang hampir meledak.
            “ gimana kamu tahu aku takut karena ga sterilisasi?”  bentak Jane tepat sambil membalikan wajahnya mendekat.  Matanya berusaha menyelidiki wajah Ken dengan saksama dengan harapan ia menemukan titik terang mengapa anak teknik ini tahu tentang perasaan yang harusnya hanya difahami oleh anak kesehatan saja.  Matanya menyipit mencari hal terkecil dari Ken yang membuatnya tahu tentang ketakutannya.
            “ aku cari tahu bu bidan,,, dari internet alasan kenapa kamu bisa setakut itu.”  Penjelasannya menggangtung tapi setidaknya Jane tahu bahwa orang ini bukan bisa membaca fikiran tapi bisa memprediksi dibantu internet.
            Siang itu datang dengan teriknya, dan kuliah sudah selesai dengan santainya sejak jam 10 pagi tadi.  Seperti hari yang lainnya, jika hari senggang maka tempat yang dituju Jane adalah rumah ibu Desyana, orang tua dari Davni Clara N.  malaikat kecil yang lahir dengan bantuan tangannya.  Ia menjadi dekat dengan keluarga Davni terutama dengan ibu Desyana.  Akhir-akhir ini ia juga menjadi dekat dengan Ken seiring kedekatannya dengan Davni yang juga sangat Ken sayangi.  Jane tahu, tak ada yang kebetulan didunia ini, semua telah ada yang mengatur dan aturan-Nya lebih indah dari apapun yang telah manusia rencanakan.  Siang ini ia hanya pergi sendirian tanpa Ken, tidak seperti hari yang lainnya.  Alasannya Ken harus ikut acara galungan yang tepat jatuh pada hari ini.  Sengaja Jane tak menunggu Ken karena acara galungan itu biasanya dilakukan dari mulai pagi sampai sore, lagipula jarak antara kampus dengan rumah ibu Desyana hanya beberapa meter, bahkan tak sampai 10 menit jika berjalan santai.
            Malam itu tepat malam minggu, malam yang biasanya dihabiskan Jane di tempat makan bersama Ken.  Malam yang biasanya hanya akan dihabiskan berdua saja tanpa ada yang lain, tak ada May, tak ada teman-teman sekelas yang lain, tak ada teman Ken, tak ada bu Desyana, bahkan tak ada Davni kecuali tukang sate dan mereka yang makan juga di warung sate milik pa Gofur ini.  Memang sudah beberapa bulan ini kedekatan Jane dan Ken sudah tak seperti teman pada umumnya, mereka memiliki kedekatan yang berbeda meski tak pernah ada kata pacaran atau istilah ikatan lainnya.  Bahkan beberapa kali Jane menemani Ken ke pertandingan basket hanya untuk memberikan dukungan saja, hal yang tak pernah sama sekali Jane lakukan sebelumnya.  hanya membawakan minuman untuk Ken dan memang hanya minuman dari Jane saja yang ken gunakan selama pertandingan.  Menemani Ken makan, menunggu jemputan Ken padahal jarak antara kampus dengan kontrakan hanya beberapa meter.  Begitu juga dengan Ken, dia hanya akan membonceng wanita jika wanita itu adalah Jane, hanya akan menurut apabila yang berkata adalah Jane, dan Jane adalah satu-satunya wanita yang mendapatkan perhatian dari Ken selama ia menjadi mahasiswa.
            “ kamu tahu, selama ini aku selalu menuliskan semua mimpi-mimpi yang ingin aku raih dalam hidup ini, aku menuliskannya dan memajangnya, semua tentang masa depanku, tapi untuk yang pertama kalinya aku menuliskan nama seorang wanita selain ibuku disana, di harapanku yang ke 100.”  Kata-katanya terdengar berbisik tapi jelas terdengar.  Jane menatap mata Ken dengan dalam.  Berharap Ken melanjutkan kata-katanya.
        

    “ kamu tahu Jane? Nama wanita itu siapa?” sejenak ia menghela napas kemudian melanjutkan “ dia adalah Jane Clara Kristian, aku mencintainya dan sangat mencintainya.”  Matanya mengalihkan pada objek yang lain di depannya, menghindari tatapan Jane yang seakan penuh dengan pertanyaan.
            “ cinta itu sederhana Ken, sesederhana kita membalikan telapak tangan.  Cinta itu tak perlu dibawa sulit, jika Tuhan menginginkan untuk menyatukan, siapa yang bisa menolaknya?”  kata-kata Jane membuat Ken diam dalam hening yang panjang.  Ken tahu jika Jane tak akan memberikan suatu jawaban yang mutlak.  Tapi dia percaya dengan kata-kata Jane bahwa cinta itu sederhana.
            “ lantas jika Tuhan ingin menyatukan kita, apa permintaan pertama yang akan kamu berikan padaku?”  Lagi ken menatap Jane dengan penuh harap dan pertanyaan besar.
            “ aku hanya ingin kamu mengimamiku shalat, mengajari aku mengaji dan menggauliku secara islam.” Kata-katanya terhenti
            “ tapi Jane, . . .” kata-katanya menggantung yang dipotong segera oleh Jane dengan halus
            “ ken, didunia ini terlalu banyak hal yang abstrak dan tak mudah kita selami.  Contoh sederhana nya adalah namaku, siapa yang menyangka aku muslim jika di ujung namaku terdapat nama kristian.  Bukankah nama itu tak cocok untukku seharusnya?, tapi aku tetap memakainya.  Sama dengan ucapanku barusan, meskipun itu mungkin tak cocok untukmu, tapi aku tetap mengatakannya.”
            Minggu berlalu berganti bulan yang semakin gersang, kamarau panjang dan tak ada gerimis setetespun yang datang, daun berguguran seakan mengikuti kekakuan hati yang meradang.  Beberapa minggu ini memang Ken tak sama sekali melihat Jane atau sebaliknya.  Jane mulai sibuk dengan program profesinya sedangkan Ken sudah sibuk dengan seleksi S2nya.  Entah bagaimana caranya hingga komunikasi antara keduanya semakin hari semakin renggang dan hubungan yang menggantungpun semakin hari semakin tak menentu arahnya.  Beberapa kali Ken mencoba menghubungi dan mencari Jane ke rumah sakit tempat Jane mengambil profesi, tapi hasilnya nihil.  Ditambah nomor Jane yang tak bisa dihubungi, semakin memperburuk keadaan.
            Hari telah berganti dan musim telah terulang lagi beberapa kali.  Senja itu datang dengan gontai, sesekali Jane memejamkan matanya hanya untuk merasakan betapa indahnya dunia ini disaat senja.  Terlintas dibenaknya tentang masa lalu dengan Ken yang tak pernah terulang lagi saat ini dengan siapapun juga sekalipun itu dengan Boska, laki-laki yang sudah beberapa bulan ini selalu memposisikan diri menjadi orang terdekat dengannya.  Entahlah, sepertinya memang tak ada yang kurang dari Boska.  Ia seorang dokter spesialis mata yang memiliki penampilan menawan.  Namun entahlah, sepertinya sosok Ken belum bisa digantikan dalam hati Jane.  Ditatapnya urutan harapan yang berjejer di kertas dengan tinta warna-warni yang sudah selesai penuh dengan bulatan kecuali satu nomor yang masih kosong tanpa sentuhan.  Matanya memandang dan terhenti pada nomor itu, sebuah catatan yang berisi kata-kata lama pada harapan ke 186.  “ aku tak akan pernah bisa mewujudkannya.”  Ucapnya berbisik dan mungkin hanya dapat didengar olehnya sendiri.  Matanya terpejam lagi, sejenak meneteskan air mata.  “ cinta itu sederhana” kemudian hening dan hanya terdengar angin yang sesekali menyapanya “ tak ada lagi yang bisa kutuliskan di kertas harapan kuliahku, semua sudah berakhir dan tugasku telah lama diselesaikan.  Harusnya aku tak pernah menulis harapan pada nomor 186, karena aku tahu harapan itu tak mungkin ku realisasikan.”  Lanjutnya masih berbisik.  Beberapa saat kembali hening dan dunia seakan ikut membisu.
            “ Jane, Ken mencarimu . . .”  ucap seseorang tepat dibelakangnya.  Matanya membulat namun ia belum ingin membalik badan menatap pemilik suara itu.  Beberapa saat ia terdiam, berharap suara itu memanggilnya lagi, berharap ia sedang tidak bermimpi.  Terlintas dibenaknya betapa ia tidak seharusnya menemui Ken.  Ia tak mungkin bisa menatap Ken untuk saat ini, mungkin dengan bertemu Ken cinta tak akan sederhana lagi.
            “ katakan pada Ken, aku tidak ada.”  Ucapnya berbisik penuh putus asa.  Kembali ia merebah dan menutup mata.
            “ Ken mengatakan ada yang penting, ia ingin menyampaikan salam secara langsung padamu, mengimami mu shalat, mengajarimu mengaji dan menggaulimu secara islam.”  Kata-katanya berhenti yang kemudian diikuti dengan tatapan Jane kepada pemilik suara itu.  Seketika Jane bangkit dan mendekati pemilik suara itu.  Matanya memerah namun air matanya masih terbendung hampir meleleh.
            “ apa maksudnya Ken?”  ucap Jane lemah
            “ aku hanya melakukan semua yang kamu harapkan.  Aku selalu percaya dengan apa yang kamu katakan, aku percaya bahwa cinta itu sederhana.  Aku yakin bahwa selama ini kamu menginginkan aku menjadi seorang muslim.  Kamu menggunakan nama Kristian karena kamu percaya disana ada do’a, dan kamu mengatakan padaku hal yang sama bertolak belakangnya dengan namamu karena pasti ada maksudnya disana.  Aku percaya kamu menyayangi aku meskipun tak seperti aku mencintaimu.”  Kata-katanya terhenti sejenak “ hari ini aku datang untuk memintamu mempertanggungjawabkan semua yang telah kamu katakan padaku.”  Sambungnya dengan ekpresi yang tak pernah Ken tunjukkan kepada siapapun termasuk kepada Jane sebelumnya.
            “ apa yang harus aku lakukan untuk mempertanggungjawabkan semuanya?”  ucap Jane hampir berbisik
            “ Kamu harus mau aku imami shalat, aku ajari mengaji dan aku gauli secara islam.”  Ucapnya penuh perhatian
            “ tapi . . .” beberapa saat Jane terhenti “ aku tak bisa sekarang Ken”
            “ kenapa? Kamu belum yakin? Aku sudah bisa shalat, aku bisa mengaji, aku juga mengerti tentang islam.  Hal yang tak pernah ada dalam semua harapan yang kutulis adalah mempelajari dan masuk agama islam, tapi justru hal itu yang aku lakukan selama 5 tahun ini.  Aku pernah berfikir bahwa harapan yang mengandung namamu tak akan pernah mendapatkan coretan.  Tapi setelah kamu mengatakan bahwa cinta sederhana, aku yakin aku akan bisa mencoretnya.  Aku mencintaimu Jane, aku sangat mencintaimu.”   Matanya menatap Jane dalam, berusaha meyakinkan bahwa ia sangat mencintai Jane.
            “ aku tak bisa sekarang Ken “ ucapannya tersentak “ kamu harus memilikiku terlebih dahulu, baru aku bisa mempertanggungjawabkan semua yang pernah aku katakan pada mu Ken.”  Lanjutnya dengan mata berbinar yang kemudian disambut senyum yang hampir meledak dari Ken. 
            “ aku setuju, aku akan memilikimu malam ini juga.”  Ucapnya mantap.            Langit menatap Jane dan Ken tersenyum simpul, menyimpan kenangan hari ini dengan penuh diam, berharap suatu hari dapat diceritakan kepada seseorang dengan riangnya. “ Ken, saat ini aku harusnya sudah mencoret harapanku yang ke 186.”  Ucap Jane lembut sambil menatap Ken dalam.
            “ apa isinya dan kenapa harus disimpan pada nomor 186?”
            “ angka itu maksunya tanggal 18 bulan 6, tepat dihari kamu mengatakan cinta padaku.  Isinya adalah aku memilikimu, diimami shalat, diajari mengaji, dan digauli secara islam olehmu.”  Matanya membulat hampir bersentuhan dengan mata Ken.  Sementara Ken tersenyum dengan hangatnya.  Ia berfikir betapa iapun memiliki harapan yang sama pada harapannya yang ke 100, dan hari ini harusnya ia juga telah mencoretnya.
“ Jane, harapan itu telah aku wujudkan bukan di catatan kuliah lagi tapi di catatan kehidupan nyata.  Jane, kamu adalah the last mozaic’s piece dalam hidupku, hari ini dan selamanya kamu akan menjadi milikku.”  Ucap Ken lembut tepat berbisik di hadapan Jane.  “ Aku percaya cinta itu sederhana, dan kamu adalah adalah the last mosaic’s piece untukku.”

“ cinta itu sederhana, tidak ada yang sulit dari kata cinta.  Kita hanya perlu menunggu waktu saja tak ada yang lain.”
           
                                                                       Ken Dwika dan Jane Clara Kristian


            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar